Di Balik Heningnya Hutan Papua Selatan

Di Balik Heningnya Hutan Papua Selatan

Namaku Semuel, tapi orang-orang lebih sering memanggilku Awingga. Dari awal 2020 hingga pertengahan 2023, aku hidup di sebuah dunia yang begitu sunyi namun penuh makna. Aku tinggal di tengah hutan lebat Papua Selatan, bersama masyarakat adat Suku Koroway di Kabupaten Boven Digoel.

Tidak ada listrik. Tidak ada sinyal. Bahkan pesawat kecil yang menjadi satu-satunya akses keluar-masuk hanya datang beberapa kali dalam sebulan. Di tempat itu, waktu seolah berjalan dengan ritme sendiri. Hutan berbicara dalam desiran daun dan langkah kaki yang menembus belantara, bukan dalam dering telepon atau notifikasi digital.

Aku hanya seorang perawat muda, bekerja berdua dengan seorang rekan, tanpa dokter, tanpa laboratorium, dan sering kali, tanpa cukup obat. Kami adalah sepasang tangan yang mencoba menangkap serpihan harapan, satu pasien demi satu pasien. Kami dengan tegar menangani penyakit endemik menular seperti malaria, frambusia, HIV/AIDS, dan TBC.

Hari itu, di suatu pagi yang lembab, seorang pria dibopong ke klinik darurat kami. Sebut saja tuan BM, usia 36 tahun. Tubuhnya sangat kurus, lemah, dan batuk tak berhenti mengguncang dadanya. Saat kupegang tangannya, dingin dan ringan. Berat badannya tinggal 46 kg, turun drastis dari 67kg hanya dalam satu bulan.

“Sudah berapa lama batuk seperti ini?” tanyaku pelan.

“Lebih dari empat minggu… dan demam terus” jawabnya lirih.

Ia datang dari kampung yang letaknya dua hingga tiga jam jalan kaki dari klinik kami. Matanya cekung, dan napasnya pendek. Ia bercerita bahwa beberapa orang di kampungnya pernah minum “obat merah”, istilah lokal untuk obat TBC, tapi ia sendiri belum pernah diperiksa. Ia juga tak merokok. Melihat kondisinya, aku tahu waktu kami tak banyak. Kami memberinya dua pot kecil untuk pengambilan dahak dan segera menyiapkan rujukan ke RSUD kabupaten. Kebetulan, esok hari ada pesawat yang akan terbang ke kota.

Sore itu, aku duduk sendiri di depan pondok klinik, menatap langit yang mulai gelap. “Tuhan,” bisikku, “jika kami tak punya banyak alat, setidaknya berikan kami cukup kekuatan.”

Lima hari kemudian, kabar dari kota datang. Dahak tuan BM positif TBC, sensitif terhadap rifampisin. Ia mulai pengobatan di RSUD, tapi sebulan kemudian, ia minta pulang. Biaya transportasi dan jauhnya jarak jadi penghalang. RSUD menghubungi kami dan meminta kami menjadi Pengawas Minum Obat (PMO)-nya.

Kami menerima dengan penuh kesadaran bahwa menjadi perawat di pedalaman bukan hanya tentang memberi obat, tapi menemani dengan setia, menjadi saksi bisu perjuangan di tengah sunyi.

Ketika Tuan MB kembali ke kampung, ia berjalan sendiri ke klinik. Batuknya berkurang, berat badannya naik jadi 58 kg. Ia tersenyum saat melihat kami.

“Saya sudah bisa makan enak sekarang,” katanya.

Kami memberinya obat untuk 10 hari dan memintanya datang lagi sebelum obat habis, kami yang mengatur pemberian obat dan pemantauan langsung. Tidak mudah, kadang obat datang terlambat, kadang cuaca menghalangi pesawat. Tapi tuan MB tidak pernah absen. Ia disiplin, patuh, dan semangatnya menular pada kami.

Enam bulan berlalu. Ia dinyatakan sembuh. Negatif TBC. Saat kami sampaikan hasilnya, ia menangis pelan, lalu memeluk kami satu per satu.

“Terima kasih sudah tidak menyerah,” ucapnya.

Aku terdiam. Sering kali kami merasa tidak cukup. Tak cukup tenaga, tak cukup fasilitas, tak cukup waktu. Tapi tuan MB mengajarkan bahwa harapan tumbuh bukan dari kelengkapan, tapi dari keberanian untuk bertahan dan terus melangkah meski di tengah hutan, meski dalam keterbatasan.

Kesembuhan sejati tak hanya datang dari rumah sakit megah atau alat canggih, tapi dari hati yang bersedia mendampingi dan pasien yang tidak menyerah. Di tempat terpencil ini, aku belajar bahwa setiap orang yang sembuh bukan hanya pasien, mereka adalah guru kehidupan.

Tuan MB adalah satu dari sekian banyak pejuang TBC yang kutemui. Mereka bertahan bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk keluarga, kampung, dan masa depan. Dan kami, yang mengabdi dalam sunyi, tak sekadar menyembuhkan, tapi turut belajar bahwa pengabdian yang paling dalam lahir dari empati yang tak bersyarat. Terima kasih sudah bertahan, para pejuang dan pemerjuang TBC. Kalian adalah nyala kecil yang memberi terang di tengah hutan.


Dalam rangka memperingati Hari TBC Sedunia 2025 yang diperingati setiap tanggal 24 Maret, Kisah Kasih Submission hadir sebagai wadah bagi siapa saja yang ingin berbagi cerita dan pengalaman seputar TBC. Kisah di atas merupakan salah satu cerita terpilih dari Kisah-Kasih submission yang diselenggarakan oleh PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bersama Stop TB Partnership Indonesia (STPI).

Penulis: Semuel Hendrik Nofa Bonai (Awingga)

Penyunting: Dianita Fatimah

Click to listen highlighted text!