Saya Samsurijal. Orang-orang memanggil saya Rijal. Sejak tahun 2010 saya mengabdi sebagai ASN guru di sebuah SMP SATAP di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di suatu pulau kecil yang berjarak dua jam dari kota dengan perjalanan naik perahu.
Jauh dari hiruk-pikuk kota, ikan melimpah di perairan sana, warga menyapa dengan tutur bijaksana, dan guru masih dipandang bersahaja. Saya dan teman-teman merasa bangga meskipun hidup di pulau tak serba ada. Air bersih tiada mengalir dari keran-keran, air kiriman dari desa tetangga dan sumur jadi andalan, dan listrik baru tersedia ketika genset dinyalakan.
Saya kira, tak ada yang perlu terlalu dipikirkan. Menjerang air sumur cukup mensterilkan, ikan dan sayur akan aman saya makan. Namun, memang semua hal tak bisa kita duga, penyakit tetap bisa datang seberapapun diri ini kita jaga.
Dipercaya sebagai bendahara rutin di sela tugas mengajar, setiap dua minggu sekali saya berlayar, mengajukan dan melaporkan dana ke kota agar keuangan sekolah lancar. Namun, ketika semangat-semangatnya mengajar, saya merasakan batuk disertai rasa sakit di dada kiri mulai menjalar.
“Kamu harus meminum obat ini selama 6 bulan” ucap dokter penyakit dalam yang saya temui di fasilitas kesehatan terdekat dari pedesaan. Tanpa penjelasan, dokter tak mengungkapkan: diagnosa TBC tak diinformasikan, saya menerima obat itu sebagai obat biasa atau vitamin yang menyembuhkan.
Sembuh yang tak kunjung datang, batuk yang terus meradang, membuat saya memutuskan untuk pulang. Namun, sakit yang tak pasti, anjuran minum obat yang tak bisa saya patuhi, membuat saya ingin bertugas kembali. Saya memaksakan diri, hari-hari mengajar tetap saya jalani meski rasa sakit tak bisa saya hindari. Berkali-kali saya menguatkan diri, berkali-kali pula saya tumbang, tersiksa oleh nyeri. Ke sana ke mari saya pergi, desa dan kota saya arungi, rumah sakit demi rumah sakit saya kunjungi sampai akhirnya, saya mendapatkan TBC sebagai diagnosis yang pasti.
Mulai saat itu, hidup saya berubah. Saya merasa berada di titik terendah. Obat-obatan dengan efek samping membuat malam-malam saya dipenuhi gelisah. Hubungan baik dengan kolega, teman, dan keluarga pun mulai goyah. Komunikasi dengan istri hanya berjalan searah, stigma buruk dari orang tuanya memperparah. Ia takut hidup kami menjadi tak berarah, seolah saya ini sangat payah, dan akhirnya kami harus berpisah.
Saya mencoba bertahan, mencari sekolah yang dekat dengan fasilitas kesehatan. Namun, tak ada sambutan, meski tenaga pengajar dibutuhkan—yang saya terima justru penolakan. Karena ketidaktahuan, penyintas TBC diperlakukan seolah monster yang menakutkan. Pernah sekali saya mendengar keluhan dari tenaga kesehatan yang meragukan kesembuhan, membuat proses berobat pun terasa sebagai tekanan.
Hari demi hari saya lewati dengan tabah, hingga akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang memperlakukan saya dengan ramah. Seorang penyintas TBC, seorang pejabat Dinas Pendidikan, dialah yang memberi saya kesempatan untuk bekerja dan memulai perjalanan saya seorang diri, tanpa teman dan keluarga.
Memulai pekerjaan seperti memulai hidup yang baru. Saya melakukan sisa pengobatan sendirian tanpa ada yang membantu, belajar mengerjakan semua hal sendirian tanpa menggerutu, dan mulai menerima keadaan untuk menjalani hari-hari tanpa mendengarkan opini orang-orang yang berlalu.
Setelah enam bulan saya menjalani pengobatan, akhirnya, saya sembuh.
Meskipun hal-hal yang telah hilang tidak dapat kembali, saya bersyukur bisa melalui semuanya sendiri. Tak ada yang saya sesali, peduli merupakan hikmah yang saya bawa untuk dipahami. Begitulah kepedulian bisa datang dan pergi, padahal kepedulian lah yang saya butuhkan untuk melawan sakit yang saya alami.
Orang dengan TBC bukan untuk dijauhi, bukan pula untuk didiskriminasi. Kami hanya ingin ditemani—dihargai sebagai sesama manusia yang tengah berjuang. Tubuh kami telah cukup lelah melawan rasa sakit, jangan biarkan hati kami ikut remuk karena stigma. Kami telah bertanya-tanya tentang masa depan kami, jangan biarkan kami terus bertanya—apakah kami layak diterima di dunia yang sama.
Kami tidak meminta dikasihani, hanya dimanusiakan. Karena pulih bukan hanya soal obat, tapi juga tentang harapan, dukungan, dan penerimaan.
Dalam rangka memperingati Hari TBC Sedunia 2025 yang diperingati setiap tanggal 24 Maret, Kisah Kasih Submission hadir sebagai wadah bagi siapa saja yang ingin berbagi cerita dan pengalaman seputar TBC. Kisah di atas merupakan salah satu cerita terpilih dari Kisah-Kasih submission yang diselenggarakan oleh PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bersama Stop TB Partnership Indonesia (STPI).
Penulis: Samsurijal
Penyunting: Dianita Fatimah