JAKARTA (14/4) – Pada hari Rabu, 14/4 dilakukan Konferensi Pers “Ketahui hak-mu” oleh Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB) yang membahas tentang pengetahuan hak-hak pasien TBC di tempat kerja dan peran lintas Kementerian & Lembaga dalam eliminasi Tuberkulosis di Indonesia. Dalam konferensi pers ini dihadiri oleh dr. Imran Pambudi (NTP Manager), dr. Erlina Burhan (RS Persahabatan/PDPI), Ibu Mundi (YKB), Selly (penyintas TBC), dan dimoderatori oleh POP TB.
Dr. Imran Pambudi menyatakan bahwa permasalahan TBC di Indonesia berhubungan erat dengan ekonomi & hygiene. Masih banyak masyarakat Indonesia tidak percaya jika di Indonesia masih ada TBC. Sangat dibutuhkan peran serta sektor lain untuk bersama-sama melakukan penanggulangan TBC di Indonesia dan hal tersebut menjadi latar belakan Kementerian Kesehatan untuk mengadvokasi terbitnya Peraturan Presiden (PerPres) tentang penanggulangan TBC yang fokus pada pendekatan multisektor dan peran serta keterlibatan komunitas dalam penanggulangan TBC.
Pada bulan juli 2020 dilakukan ratas tentang TBC dan Presiden RI menyatakan bahwa TBC harus menjadi prioritas dan jika diperlukan peraturan beliau bersedia menandatangani karena TBC tidak bisa selesai jika hanya dikerjakan oleh sektor kesehatan sendiri.
Dr. Erlina Burhan juga menambahkan bahwa TBC bukanlah masalah kedokteran saja, sebagai dokter jika menemukan pasien yang telah didiagnosis TBC pasti ingin disembuhkan namun perlu adanya bahu membahu seluruh pihak agar pasien TBC bisa melakukan pengobatan hingga sembuh, seperti dukungan tenaga kesehatan, keluarga, dan lingkungan sekitar. Sesuai dengan jargon TOSS TB (Temukan Obati Sampai Sembuh).
Beliau menyatakan bahwa kunci TOSS TBC ialah: (1) menemukan secara aktif orang dengan gejala TBC, (2) memastikan memulai pengobatan ketika telah ditemukan, dan (3) memastikan pengobatan diselesaikan sampai tuntas. Permasalahan yang sering dihadapi ialah masalah stigma. Banyak pasien tidak mau berobat karena tidak mau ijin ke ka kantor, karena jika ijin lalu ketahuan akan dirumahkan. Maka dari itu, sebaiknya perusahaan dapat berpartisipasi dalam penanggulangan TBC dengan memberikan hak-hak pekerja dan tidak melakukan diskriminasi. Justru sebaiknya mendukung pengobatan hingga sembuh.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Selly, seorang penyintas TBC yang dirumahkan selama menjalani pengobatan TBC. Selly menyatakan bahwa ia diputuskan secara sepihak oleh perusahaan tempatnya bekerja saat menjalani proses pengobatan TBC. Selly mengetahui hal tersebut saat melakukan pengobatan lalu kartu BPJSnya sudah tidak bisa digunakan lagi karena sudah diputus oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Disampaikan oleh Ibu Mundi dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) bahwa sudah ada undang-undang untuk melindungi pekerja untuk tetap sehat produktif dari kecelakaan kerja dan penyakit akiba kerja. Setiap perusahaan memiliki divisi K3 (keselamatan dan kesehatan kerja. Setiap pekerja memiliki hak : (1) hak memperoleh informasi, (2) hak untuk mengakses layanan kesehatan, (3) hak mendapatkan kenyamanan dan keamanan. Maka dari itu sangat penting untuk meningkatkan pemahaman di tingkat manajemen tentang TBC untuk menciptakan komitmen pemberi kerja memberikan hak-hak pekerja/pasien TBC dan edukasi di seluruh pekerja/pasien TBC.
Acara konferensi PERS ini dihadiri juga oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan salah satu pertanyaan yang diajukan ialah bagaimana peran gender dan TBC, berdasarkan salah satu kasus yang ada, seorang kepala keluarga dipaksa untuk mencari nafkah oleh istrinya meskipun dia TBC sehingga kesulitan untuk menjalani pengobatan. Hal tersebut menjawab betapa pentingnya adanya gender mainstreaming pada penanggulangan TBC. perlunya edukasi dan pelibatan aktif baik perempuan ataupun laki-laki dalam isu penanggulangan TBC. hal tersebut penting agar beban ganda yang dialami oleh perempuan dapat diemban oleh kedua belah pihak dan baik laki-laki maupun perempuan dapat menjalani pengobatan tanpa diskriminasi.
Post Views: 22