Sejak awal tahun 2020, pembicaraan seputar pandemi COVID-19 telah menjadi buah bibir masyarakat di Indonesia seiring dengan banjirnya informasi dari media, pemerintah maupun dari orang-orang terdekat. Pandemi ini tak dapat dipungkiri telah membawa imbas besar yang menarik seluruh perhatian masyarakat.
Pasien positif COVID-19 di Indonesia per Rabu (26/11/2020) naik 5,534 kasus sehingga total kasus terkonfirmasi positif menjadi 511,836 orang. Sementara itu, pasien meninggal akibat COVID-19 total menjadi 16,225 kasus. Selain dampak kesehatan, pandemi ini juga merobohkan ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal III/2020 mengalami kontraksi 3,49 persen. Situasi ini menandakan Indonesia resmi masuk jurang resesi setelah mengalami kontraksi pertumbuhan dua kuartal berturut-turut.
Alhasil, pemerintah semakin gencar menggelontorkan dana untuk pemulihan ekonomi dan pengendalian COVID-19. Namun, di saat semua perhatian Tanah Air tertuju ke penanganan dampak COVID-19, sejumlah penyakit luput dari pandangan. Salah satunya adalah penyakit tuberkulosis (TBC).
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia Heny Akhmad kepada Tirto, Selasa (24/11/2020), menilai bahwa COVID-19 telah banyak menguras hal-hal yang menjadi kebutuhan pasien TBC. Ia mengatakan, di satu sisi, penyedia layanan kesehatan terpaksa harus menggunakan fasilitas untuk TBC seperti ruang isolasi dan mengalihkan tenaga kesehatan mereka untuk merawat pasien COVID-19 yang terus memuncak, sehingga penanganan TBC pun jadi terpinggirkan. Di sisi lain, pasien TBC merasa enggan untuk pergi ke fasilitas kesehatan karena ketakutan akan terpapar oleh virus COVID-19.
Walaupun pengobatan TBC sudah ditanggung oleh negara, banyak pasien juga masih kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan karena terkendala biaya transportasi ke fasilitas kesehatan dan biaya lainnya di saat pandemi, tambah Heny. Dikutip Republika, pada 25 Oktober 2020, Yayasan Pejuang Tangguh Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) Jakarta Ully Ulwiyah, misalnya, menceritakan bahwa ada pasien Tuberkulosis Multi-Drug Resistant (TB-MDR) yang memiliki kondisi cukup berat. Sayangnya, ia tidak dapat memperoleh perawatan karena keterbatasan tempat untuk merawat pasien TB-MDR. Bahkan, lanjut Ully, ada pasien dampingan yayasannya yang meninggal dunia karena terlambat ditangani. “Harus lempar sana-lempar sini, karena keterbatasan ruang perawatan untuk pasien MDR, karena ruang perawatan TB-MDR dan COVID-19 hampir sama, karena memang harus diisolasi,” ujar Ully.
Baca selengkapnya di artikel “Tenggelamnya Kegawatan TBC di Tengah Hiruk-Pikuk COVID-19”, https://tirto.id/f7o8