share

Tuberkulosis, Tiga Belas Tahun Lalu

Tuberkulosis, Tiga Belas Tahun Lalu

Tuberkulosis, Tiga Belas Tahun Lalu

Tuberkulosis, Tiga Belas Tahun Lalu

Tiga belas tahun yang lalu, saya pikir itulah akhir kehidupan. Ketika mengandung anak pertama, di saat yang sama pula, saya mengidap penyakit menular paling mematikan pertama di dunia. Tuberkulosis namanya. Batuk berdahak terus menerus, malam-malam dilewati tanpa tidur nyenyak sebab harus berkali-kali mengganti pakaian yang basah karena keringat, demam meriang, hingga kesulitan menelan yang berdampak pada berat badan yang menurun drastis. Hamil anak pertama, masih dalam masa trimester awal, dan mengalami tuberkulosis, sungguh sebuah kondisi yang tidak bisa dibayangkan. Nyatanya, tahun 2010 hingga 2011, saya berada di posisi tersebut dan Alhamdulillah, masih bisa berkarya hingga kini. Ya, atas izin Allah, dengan pengobatan yang tepat, tuberkulosis bisa disembuhkan.

C:\Users\Win 7\Downloads\tbc 1.png

Tiga belas tahun yang lalu, jangan bayangkan akses informasi semudah sekarang. Tidak semua orang memiliki akses internet, apalagi menggenggam telepon pintar. Saya pribadi bahkan tidak begitu mendengar adanya kampanye edukasi terkait tuberkulosis. Entah informasinya yang tidak sampai ke saya, atau memang belum ada, belum semasif sekarang. Ketika didiagnosis mengidap tuberkulosis, saya kemudian mengingat gejala-gejala yang dialami, hingga sampai pada suatu referensi. Ya, satu-satunya referensi informasi yang tidak sengaja saya dapatkan. Adalah lagu berjudul Laporan Jaga Malam, yang diciptakan sekaligus dinyanyikan oleh seorang koas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin bernama Elvin Miradi (Epping). Dalam penggalan liriknya, saya merasa, ah ya! Gejalanya nyaris sama semua. Mendengar lirik tersebut, betapa marahnya ia sebagai koas ketika tahu si pasien pernah minum obat, tapi berhenti, maka saya tetapkan dalam hati. Kuncinya di sini. Kepatuhan meminum obat.

Ibu, apa keluhannya?” “Batuk..

“Batuk sudah, berapa lama?” “3 bulan..

Apa batuknya campur darah?” “Iye”

Suka keringat kalau malam?” “Iii..Na taukna deh.”.

Nafsu makan, bagaimana?” “Turun..

Berat badan turun berapa?” “20 kilo..

Apakah pernah minum obat?” “Iye, tapi…

Lalu kenapa berhenti minum obat??!!”

***

Lagu tadi saya dengar jauh-jauh hari sebelum mengalami TBC. Tapi mengapa pula baru ada benang merahnya setelah saya melalui perjalanan panjang sampai mengetahui keluhan yang saya alami berbulan-bulan itu adalah penyakit yang sama. Mungkin ada yang bertanya, apakah saya tidak memeriksakan diri ke dokter? Tentu saja saya, dengan diantarkan oleh suami, pergi memeriksakan diri ke dokter. Oh ya, pada tahun tersebut, belum ada BPJS Kesehatan, berobat ke puskesmas bukanlah sesuatu yang umum seperti yang kita lihat sekarang. Maka saya datang sebagai pasien umum ke sejumlah dokter spesialis. Baik di lingkup klinik pribadi, hingga rumah sakit.

Percaya atau tidak, pada dokter keempat yang saya datangilah kemudian yang menyatakan bahwa saya mengidap tuberkulosis. Tiga dokter sebelumnya, sempat berpikir yang saya alami adalah semacam kanker, bahkan saya sempat divonis akan kehilangan bayi yang kala itu dikandung. Tidak ada yang salah, tidak ada yang perlu disesalkan. Lagi-lagi, akses informasi saat itu tidak semudah sekarang. Terlebih lagi saya datang dalam kondisi berbadan dua, kesulitan menelan yang saya alami sampai menyebabkan adanya tonjolan di bagian leher. Membuat saya harus dilakukan biopsi. Apa yang saya sampaikan di awal tulisan, tentang gejala yang saya alami, hingga akhirnya didiagnosis TBC, sungguh tidak sesingkat yang tertulis. Jika tidak gigih mencari second opinion, maka mungkin tidak akan ada tulisan ini. Beruntunglah, sekarang kita begitu mudahnya mendapatkan informasi terkait edukasi pencegahan dan pengendalian TBC.

Senang sekali melihat betapa massifnya penyebaran informasi terkait TBC beberapa tahun belakangan ini. Setiap kali mengunjungi fasilitas kesehatan hingga mengakses media sosial, ada banyak sekali edukasi terkait TBC. Entah dalam bentuk spanduk, selebaran (brosur), hingga berbagai konten kreatif (infografis, video, tulisan, dan lainnya). Menarik ketika melihat Tim Kerja TBC dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tidak bekerja sendiri, melainkan dibantu oleh banyak Mitra Program TBC. Ada Bakrie Center Foundation, PR Komunitas Penabulu-STPI, POP TB Indonesia, Yayasan KNCV Indonesia, CIMSA Nasional, hingga Yayasan Project Hope. Terharu, betapa banyak yang peduli. Sebab bukankah “Gerakan Indonesia Akhiri TBC” adalah sebuah langkah bersama? Tidak hanya tugas tim kerja TBC, maupun mitra program TBC, melainkan semua pihak- termasuk kita, harus terlibat aktif dalam pencegahan dan pengendalian TBC. Sekarang sudah tahun 2024, dengan berbagai kemudahan yang ada, ayo gerak bersama!

***

C:\Users\Win 7\Downloads\tbc 2.png

Peringatan Hari TBC Sedunia atau HTBS berlangsung pada 24 Maret 2024 nanti. Tanggal yang telah ditetapkan WHO dalam rangka memperingati tanggal ditemukannya Mycobacterium tuberculosis (bakteri penyebab penyakit tuberkulosis) di tahun 1882 oleh Dr. Robert Koch. Lebih dari itu, ditetapkannya Hari TBC Sedunia tidak lain bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian negara-negara di dunia akan penyakit menular paling mematikan ini (sekarang menempati urutan kedua setelah Covid-19).

Tiga belas tahun yang lalu, saya seorang ibu hamil yang harus mendapatkan pemeriksaan rontgen, pengambilan sputum, tindakan biopsi, hingga kemudian didiagnosis mengidap tuberkulosis, merasa bersyukur atas kejadian sarat hikmah tersebut. Bersyukur bisa bertemu dokter-dokter hebat, Prof dr Raden Sedjawidada, Sp.THT KL(K), Prof. Dr. dr. Haerani Rasyid, M.Sc, SpPD-KGH, SpGK, FINASIM, dan dr. Putra Rimba, Sp.OG. Mereka yang memotivasi bahwa saya bisa melalui semua ini. Menguatkan seorang ibu hamil yang nyaris patah semangat, yang tegas mengingatkan bahwa saya harus disiplin meminum obat selama 6 bulan. Sampai akhirnya paru-paru saya bersih, dan berbagai keluhan itu tidak tampak lagi, sampai hari ini. Demikian pula dr. Andi Faridha Mattalatta, Sp.A, dokter anak yang mendampingi si kecil di bulan-bulan pertama kelahirannya, memastikan penyakit tuberkulosis ini tidak sampai padanya. Ya, si kecil yang kemudian saya beri nama Sedja Haerani Putri Mustamar itu, kini tumbuh menjadi remaja yang cerdas, usianya sebentar lagi 13 tahun.

Hari TBC Sedunia 2024 nanti, sungguh bukanlah sekadar seremoni yang mungkin ucapannya akan dengan mudah saya temukan di mana saja. Lebih dari itu, ada cerita panjang di baliknya. Dukungan keluarga- terutama suami dan orangtua yang teramat penting. Dokter-dokter dengan jasanya yang luar biasa. Perjuangan saya dan bayi yang dikandung untuk bisa sembuh. Disiplin mengkonsumsi obat selama 6 bulan, tentunya dengan didukung pola hidup yang sehat. Ya, Ada harapan besar, agar tidak ada lagi penambahan jumlah kasus ke depannya. Agar jangan ada, mereka yang kian parah kondisinya atau bahkan sampai mengalami kematian sebab kurangnya kepatuhan dalam mengkonsumsi obat. Angka 1.060.000 kasus dengan 134.000 kasus kematian diantaranya adalah pekerjaan rumah kita bersama. Bagaimana agar angka tersebut bisa berkurang jumlahnya. Bukan hanya tugas tim kerja TBC Kemenkes RI, atau mitra kerja TBC saja, melainkan kerja sama semua pihak. Dan inilah yang saya, sebagai penyintas tuberkulosis di tahun 2010-2011 bisa lakukan. Menuliskan kisah, semoga bisa menginspirasi. Yuk, TOSS TBC! Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh!

Referensi:

https://www-cdc-gov.translate.goog/tb/worldtbday
https://soundcloud.com/epping99/epping-laporan-jaga-malam

Biodata Penulis

Andy Hardiyanti Hastuti, seorang istri dan ibu dari tiga orang anak. Berprofesi sebagai seorang blogger, pernah menjadi content creator di sejumlah media dan brand. Beberapa kali menjuarai lomba kepenulisan dan pembuatan konten kreatif. Perempuan kelahiran Denpasar, 5 Februari 1991, yang gemar menulis apa saja di blognya yang bisa diakses di https://andyhardiyanti.com. Bagian dari JaWAra Internet Sehat 2022 (relawan edukasi literasi digital ICT Watch), Fasilitator Ibu Penggerak Sidina Community, pernah menjadi kontributor bidang sosial pada PandemicTalks (membuat konten edukasi berkaitan pandemi Covid-19 di Indonesia), dan berbagai kegiatan lainnya. Saat ini tinggal di Mataram, NTB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content