Berdasarkan Global TB Report tahun 2022 jumlah kasus TBC terbanyak pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 sampai 34 tahun. Di Indonesia jumlah kasus TBC terbanyak yaitu pada kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun. Usia tersebut merupakan usia dimana mayoritas orang-orang bekerja. Pemerintah memfokuskan pengendalian TBC bagi para pekerja melalui Permenkes nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC dan Permenaker nomor 13 tahun 2002 tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan dr. Imran Pambudi, MPHM mengatakan jumlah kasus TBC sensitif obat berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2022 paling banyak dialami oleh buruh sebanyak 54.800 orang, petani 51.900 orang, dan wiraswasta 44.200 orang. Sementara untuk jumlah kasus TBC resisten obat berdasarkan jenis pekerjaan Tahun 2022 paling banyak ada di wiraswasta 751 orang, buruh 635 orang, dan pegawai swasta BUMN atau BUMD 564 orang.
Angka keberhasilan pengobatan TBC sensitif obat di Indonesia pada tahun 2022 sebanyak 85%, paling tinggi ada pada tenaga profesional medis 79%, tenaga profesional non medis 78%, PNS 73%, kemudian disusul dengan yang lain. Sementara angka keberhasilan pengobatan TBC resisten obat di Indonesia tahun 2022 secara umum keberhasilannya 55%. Dari angka tersebut yang paling tinggi adalah tenaga profesional medis 75%, tenaga profesional non medis 67%, guru atau dosen 66%, diikuti profesi yang lainnya.
“Edukasi itu sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TBC karena pengobatannya lama. Kalau TB SO itu 6 bulan minimal, kalau TB RO itu minimal 1 tahun,” ujar dr. Imran pada konferensi pers hari TBC Sedunia 2023, Jumat (17/3) secara virtual.
Berdasarkan data kependudukan BPS 2022 lebih dari 80% pekerja informal tidak mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan. Menurut dr. Imran, ini jadi tantangan bersama bagaimana membuat mereka mempunyai akses yang baik.
Dalam Strategi Nasional Eliminasi TBC yang tertuang pada Perpres nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis ada sejumlah strategi mengatasi TBC di Indonesia. Mulai dari penguatan komitmen, peningkatan akses layanan TBC, optimalisasi upaya promosi dan pencegahan TBC, pengobatan TBC dan pengendalian infeksi, kemudian pemanfaatan hasil riset dan teknologi.
Direktorat Bina Pengujian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Ibu Maptuha menjelaskan Kemenaker menyusun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) nomor 13 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja. Sasaran dari pelaksanaan Permenaker ini adalah pengusaha dan pengurus perusahaan, dokter perusahaan, pekerja atau buruh, dan bagi pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja.
“Upaya yang telah dilakukan Kemenaker dalam rangka penanggulangan TBC di tempat kerja adalah pada Tahun 2022 kami melakukan identifikasi risiko tinggi tuberkulosis di tempat kerja menggunakan formulir screening di 6 wilayah yaitu Jawa Tengah 1050 pekerja, Jawa Barat 2.719 pekerja, DKI Jakarta 100 pekerja, Jawa Timur 327 pekerja, Sumatera Utara 150 pekerja, dan Banten 409 pekerja,” ucapnya.
Selanjutnya sosialisasi pencegahan pengendalian kasus TBC serta strategi DOTS di tempat kerja dilakukan di 5 wilayah yaitu Banten, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah.
Ibu Maptuha menambahkan rencana kegiatan penanggulangan tuberkulosis tahun 2023 yaitu sosialisasi penanggulangan TBC di tempat kerja sebanyak 500 orang pada 3 wilayah, dan screening TBC kepada pekerja di 18 wilayah.
Perwakilan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Prof Dr. dr. Agus Dwi Sutanto mengatakan hampir semua organ tubuh manusia bisa terkena TBC, tetapi yang paling sering adalah paru-paru. Beberapa kondisi yang meningkatkan risiko infeksi TBC adalah penyakit yang memperburuk imunitas tubuh seperti HIV/ AIDS, diabetes, gangguan gizi, gagal ginjal, alkohol, perokok.
“Pekerja beresiko karena faktor risiko bekerja bisa karena usia masa kerja dan pajanan bahan di tempat kerja. Beberapa pajanan bahan di tempat kerja itu menyebabkan kondisi dan daya tahan tubuh di paru-paru menurun, contohnya seperti silika dan bahan-bahan toxic lainnya yang terhirup itu dapat merusak sistem pertahanan paru. Akibatnya kalau kena infeksi TBC paru-paru lebih rentan terinfeksi,” tutur Prof. Agus.
Ventilasi di tempat kerja kurang baik, pencegahan infeksi di tempat kerja yang tidak berjalan, dan APD yang tidak digunakan optimal sampai kebiasaan merokok akan berisiko tinggi terinfeksi TBC.
Gejala seseorang terinfeksi TBC adalah batuk-batuk berdahak, batuk berdarah, sesak napas, lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari, dan demam meriang.
“Tujuan pengobatan TBC adalah untuk menyembuhkan. Jadi kalau sudah ada yang terkena TBC wajib diobati supaya tidak menular kepada orang lain, produktivitas dan kualitas hidupnya menjadi lebih bagus, terutama bagi pekerja,” ungkap Prof. Agus.
Keterlibatan perusahaan dalam upaya mengatasi TBC pada karyawannya sangat diperlukan. PT. Otsuka misalnya, perusahaan tersebut memiliki kefokusan dalam mengatasi TBC melalui program Free TBC @ Workplaces.
Corporate Communication PT. Otsuka Sudarmadi Widodo menjelaskan program tersebut dibuat berdasarkan Permenkes nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC dan Permenaker nomor 13 tahun 2002 tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja.
“Kami menginisiasi program Free TBC @Workplaces, tujuannya untuk menciptakan lingkungan kerja yang bebas TBC dan eliminasi stigma tentang TBC,” disampaikan oleh Bapak Sudarmadi.
Program itu fokus pada mencegah timbulnya stigma negatif dan membangun kepedulian untuk mengatasi TBC sampai sembuh. Upaya yang dilakukan antara lain menyediakan nutrisionis.
“Kita ingin selain melakukan pengobatan, kita juga mengupayakan disiplin nutrisi, edukasi dengan nutrisi yang baik, dan kita juga memberikan support nutrisi makanan tambahan yang tinggi protein untuk membantu konsumsi nutrisi yang baik,” tutur Bapak Sudarmadi.
Setelah itu dilakukan monitoring perkembangan klinis pegawai oleh dokter. Pihaknya juga berupaya berkolaborasi dengan seluruh stakeholder untuk menghapus stigma negatif.
Editor: Windy Oktavina, Dinda Anisa Rakhmawulan, Farah Alphi Nabila